Jakarta is not for everyone. Yang kuat yang bertahan. Yang lemah akan tertindas. Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri. Kehidupan di Jakarta sangat keras. Mungkin kata-kata itu ada benarnya. Aku merasa perputaran waktu di Jakarta terasa lebih cepat dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Derap langkah kaki orang-orang yang berjalan di Trotoar yang begitu cepat. Orang-orang berlarian di stasiun naik turun anak-anak tangga mengejar waktu supaya tidak terlambat. Telat 1 detik bisa mengacaukan dan mengubah segalanya.
Photo by Tom Fisk from Pexels |
Orang-orang yang bertahan hidup di Jakarta seakan tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Bisa dibilang egois. Walaupun tidak semuanya. Ketika berada di kendaraan umum seperti Kereta atau Busway, penumpang prioritas seperti Ibu Hamil, lansia atau penyandang disabilitas harus meminta bantuan petugas untuk mencarikan tempat duduk karena jika mereka meminta sendiri sering diabaikan. Semua orang merasa berhak untuk mendapatkan tempat duduk dengan dalih "saya juga bayar" atau "saya juga capek".
Para pekerja di Jakarta memulai hari mereka dengan berangkat ke tempat kerja sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari tenggelam. Mereka tidak hanya yang berasal dari Jakarta, tetapi dari Bogor, Tangerang, Depok dan kota-kota lainnya yang mengadukan nasibnya di Jakarta. Perjalanan yang ditempuh selama 1 sampai 2 jam bolak balik Jakarta terasa cepat karena sudah terbiasa dilakukan setiap hari. Salah satu alasan mereka tetap bertahan mencari nafkah di Jakarta adalah nilai UMR yang lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Tentu saja hal ini dibarengi dengan biaya hidup yang lebih tinggi. Seberapa lelah pun bekerja di Jakarta tetap dijalani bisa jadi karena mengejar gengsi. Stigmanya adalah bekerja di gedung-gedung tinggi pasti gajinya besar dan sukses.
Pagi ini aku berangkat ke Kantor lebih pagi jadi aku memutuskan untuk naik Busway. Busway menjadi salah satu alternatif transportasi umum di Jakarta. Harganya yang murah sebesar 3.500 rupiah menjadi pertimbangan orang-orang memilih transportasi ini selain kereta Commuter Line. Bermacet-macetan sudah menjadi sarapan di pagi hari. Bagi yang sedang terburu-buru tidak disarankan menggunakan Busway. Bisa menggunakan motor pribadi atau ojek online. Aku suka sekali naik Busway karena walaupun memakan perjalanan yang cukup lama ke kantor sekitar 45 menit tetapi aku bisa merasakan slow living sejenak, aku bisa menulis sepanjang perjalanan, mempersiapkan to do list yang akan aku lakukan nanti di Kantor, membaca artikel atau melihat keadaan sekitar seperti yang aku lakukan saat ini.
Aku melihat dari kaca Busway para pedagang sedang melayani pembeli. Ada yang berjualan nasi uduk, bubur ayam, mie ayam, ketoprak, gado-gado, soto ayam dan lain-lain. Salah satu culture shock menu sarapan orang-orang Jakarta adalah makanan berat. Mie ayam lengkap dengam kerupuk pangsit dan sambal dimakan di pagi hari. Hehe. Aku sendiri sebagai Budak Corporate yang 5 hari menghabiskan waktu bolak balik Jakarta tidak terbiasa sarapan berat seperti itu. Rasanya mengantuk setelah makan berat di pagi hari bukannya bersemangat.
Di sepanjang jalan kita juga disuguhi entertain. Ada yang mencari nafkah dengan mengamen menggunakan kostum unik seperti super hero dan badut. Mereka akan berjoget di pinggir jalan atau lampu merah. Di sisi lain kita juga melihat ada yang mengemis sambil menggendong balita dan berpakaian lusuh. Ada juga para Tunawisma yang hidup dari mengumpulkan sampah. Pada saat malam hari mereka tidur di pinggiran ruko atau di dalam gerobak yang mereka bawa. Perbandingan ekonomi antara si kaya dan si miskin sangat jelas sekali di Kota ini.
Aku menulis tulisan ini di Busway sepanjang perjalanan aku menuju ke Kantor. Sebentar lagi aku akan sampai di Halte yang aku tuju dan menjalani aktivitas sebagai Budak Corporate di Jakarta. Lain kali cerita-cerita lagi ya. Semoga bermanfaat